Wahyu Keraton
WAHYU KERATON
Di tanah Jawa dikenal konsep yang dinamakan Wahyu keraton. Ini adalah pengertian yang berbeda dengan wahyu kenabian. Karena wahyu yang dimaksud di sini adalah berarti restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang jatuh pada seseorang untuk memimpin Negeri.
Wahyu keraton kemudian diwujudkan dalam bentuk “dukungan rakyat” yang memberikan hak kepada seseorang untuk memimpin Negeri. Sebenarnya ada banyak jenis wahyu itu, ada yang bersifat pengetahuan yaitu Wahyu Cokroningrat, berupa pengaruh dan kepemimpinan yaitu wahyu Makutho Romo dan Wahyu Keraton yang bersifat kenegaraan.
Bagi yang pernah hidup di pedesaan pada tahun 80’an tentu mengenal adanya istilah “ketiban ndaru” pada rumah calon kepala desa yang besuk akan bertarung dalam pemilihan Lurah. Fenomena yang menarik adalah, sebelum memenangkan pemilihan Lurah, maka di rumah calon yang bersangkutan akan jatuh segumpal besar “cahaya” dan masuk ke dalam rumah itu. Cahaya itu mereka sebut sebagai ndaru.
Ada kalanya sinar yang ditunggu tunggu itu tidak datang, dan biasanya mereka yang menungu sejak malam hari menjadi kecewa. Artinya yang akan menang dalam pemilihan lurah itu bukan yang dipilih rakyat, tetapi yang dipilih oleh “botoh”. Botoh adalah istilah untuk bandar judi yang mengatur kemenangan salah satu calon untuk kepentingannya perjudiannya.
Dalam konsep kenegaraan, sinar yang jatuh kepada orang yang didukung rakyat dikenal sebagai “tejo”. Maka seorang pemimpin yang tidak memiliki “tejo suminar” biasanya tidak bisa memimpin negaranya secara efektif. Karena biasanya mereka tidak memenangkan dukungan rakyat penuh. Dan kemenangan mereka adalah rekayasa.
Pemimpin yang memiliki “Tejo” atau didukung penuh oleh rakyat akan memerintah dengan kuat dan memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Dia lah pemimpin yang mendapatkan Wahyu keraton. Pemimpin yang benar benar didukung oleh rakyat dan mengabdikan sepenuhnya pemerintahannya untuk kepentingan rakyat.
Ketika pemimpin yang mendapatkan wahyu keraton itu wafat, atau tidak berkuasa lagi, maka wahyu keraton akan pindah ke orang lain yang “mendapatkan dukungan rakyat”. Adakalanya "wahyu keraton" tidak turun dalam kurun waktu tertentu, karena adanya "krisis kepemimpinan". Pada saat itulah masyarakat masuk suatu jaman yang dikenal sebagai jaman yang serba susah dan tidak teratur yang dikenal sebagai "Jaman Kolobendu".
Tetapi ada kalanya tejo bisa diarahkan agar jatuh ke tangan pihak tertentu. Mereka melakukannya dengan rekayasa media. Seorang yang sebenarnya tidak memiliki wahyu keraton, terlihat seolah memiliki memiliki Tejo Suminar. Tatapi, ibarat Lurah yang memenangkan pemilihan lurah karena didukung oleh “Botoh” maka tejo yang dimilikinya sebenarnya palsu.
Artinya, pemimpin yang didukung oleh permainan kepentingan, tidak akan mendapatkan wahyu keraton yang sesungguhnya. Karena dukungan dari rakyat yang didapatkannya palsu dan rekayasa.
Akibatnya, kepemimpinannya menjadi tidak efektif. Dan kondisi negara menjadi semakin buruk.
Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Wahyu Keraton"