Halaman

    Social Items


GUS TATUNG



Saya lahir di sebuah desa terpencil di Daerah Purwodadi. Sekarang kawasan itu dikenal sebagai kabupaten Grobogan. Walaupun terpencil, desaku sangatlah ramai, karena dekat dengan Stasiun, satu satunya kendaraan cepat yang melewati desa kami.

Kakekku seorang pensiunan Perhutani. Sebelum pensiun beliau adalah kepala kantor TPK (Tempat Pelelangan Kayu) milik Perhutani. Itulah sebabnya beliau dipanggil sebagai “pak Mantri”. Mantri itu dalam bahasa jawa dulu berarti “kepala”. Jadi, seorang kepala sekolah, juga akan dipanggil sebagai Pak Mantri. Demikian juga Kakekku, dipanggil sebagai pak Mantri, karena beliau adalah kepala kantor.

Bahkan sampai beliau pensiun pun, beliau masih dipanggil Pak mantri, atau ada juga yang memanggil Mbah Mantri. Orang orang sangat hormat kepada beliau. Itulah sebabnya, para tetangga memperlakukanku sebagai “cucunya orang yang dihormati”. Mereka memanggilku Gus tatung.

Gus, dalah khasanah bahasa jawa, berasal dari kata “Bagus” atau “ganteng” dalam bahasa Indonesianya. Gus adalah panggilan kepada seorang anak dari “keluarga yang dihormati”. Orang tuaku sendiri tidak memanggilku dengan gus. Hanya para tetangga yang memanggilku Gus. Orang tua dan kakekku memanggilku le. Le adalah panggilan kesayangan kepada anak laki laki. Sedangkan ibuku, memanggilku dengan panggilan lik, hingga sekarang. Lik juga panggilan untuk anak kecil yang disayanginya.

Ternyata bahasa itu sangatlah dinamis. Semenjak Gus Dur terkenal sebagai salah satu Kyai yang dihormati, tiba tiba saja, panggilan Gus dinisbatkan kepada seorang Ulama, atau seorang kyai. Bahkan ada sebagian yang menganggap Gus itu “lebih tinggi” tingkatannya dibanding Kyai.

Di Jawa Timur, seorang anak kyai dikenal sebagai Gus. Mungkin karena seorang Kyai sangat dihormati, maka anaknya dipanggil gus, sebagaimana pangilan Gus pada anak “keluarga terhormat” di Jawa Tengah. Selama seorang anak kyai belum “pantas” dipanggil kyai, dia akan tetap dipanggil Gus.

Jadi, sebenarnya, jika anda menyebut seorang Kyai dengan panggilan Gus, berarti anda menganggapnya “belum layak” dipanggil kyai. Tetapi karena “pergeseran makna” akibat dinamisasi bahasa, Gelar “Gus” kini diberikan pada seorang ulama yang dihormati.

Pada suatu hari, setelah sowan ke beberapa saudara di Salatiga, saya mampir ke seorang sepupu. Orang orang memanggilnya Gus Imam (almahrum). Entah mengapa dia sangat dihormati, bahkan lebih dihormati dibanding paman paman kami yang “levelnya Kyai”. Padahal usianya masih muda, hanya 2 tahun lebih tua dari saya.

Sampai di rumah, saya  bercerita kepada ibuku bahwa tadi saya ketemu dengan “Gus Imam”. Ibuku marah, dan mengingatkan bahwa beliau adalah “kakakku”. Tidak selayaknya saya memanggilnya dengan panggilan “anak kecil” seolah saya lebih tua darinya.

Sebenarnya saya hanya bercanda ketika memanggil “kakak sepupuku” dengan panggilan Gus Imam. Karena masyarakat memang memanggilnya Gus Imam. Biasanya saya memanggilnya dengan Mas Imam.

Ketika dimarahi ibuku, saya menjawab, bahwa Gus Dur, yang sudah sepuh juga dipanggil Gus..

Ibuku tetep bersikeras, saya harus memanggilnya Mas.  Gus Imam adalah kakak saya.

Kembali saya teringat masa kecilku yang sangat indah, Ketika saya masih dipanggil dengan panggilan Gus Tatung. Gus di sini bukan panggilan untuk seorang Kyai. Tetapi panggilan terhadap seorang anak kecil.

Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com




GUS TATUNG


GUS TATUNG



Saya lahir di sebuah desa terpencil di Daerah Purwodadi. Sekarang kawasan itu dikenal sebagai kabupaten Grobogan. Walaupun terpencil, desaku sangatlah ramai, karena dekat dengan Stasiun, satu satunya kendaraan cepat yang melewati desa kami.

Kakekku seorang pensiunan Perhutani. Sebelum pensiun beliau adalah kepala kantor TPK (Tempat Pelelangan Kayu) milik Perhutani. Itulah sebabnya beliau dipanggil sebagai “pak Mantri”. Mantri itu dalam bahasa jawa dulu berarti “kepala”. Jadi, seorang kepala sekolah, juga akan dipanggil sebagai Pak Mantri. Demikian juga Kakekku, dipanggil sebagai pak Mantri, karena beliau adalah kepala kantor.

Bahkan sampai beliau pensiun pun, beliau masih dipanggil Pak mantri, atau ada juga yang memanggil Mbah Mantri. Orang orang sangat hormat kepada beliau. Itulah sebabnya, para tetangga memperlakukanku sebagai “cucunya orang yang dihormati”. Mereka memanggilku Gus tatung.

Gus, dalah khasanah bahasa jawa, berasal dari kata “Bagus” atau “ganteng” dalam bahasa Indonesianya. Gus adalah panggilan kepada seorang anak dari “keluarga yang dihormati”. Orang tuaku sendiri tidak memanggilku dengan gus. Hanya para tetangga yang memanggilku Gus. Orang tua dan kakekku memanggilku le. Le adalah panggilan kesayangan kepada anak laki laki. Sedangkan ibuku, memanggilku dengan panggilan lik, hingga sekarang. Lik juga panggilan untuk anak kecil yang disayanginya.

Ternyata bahasa itu sangatlah dinamis. Semenjak Gus Dur terkenal sebagai salah satu Kyai yang dihormati, tiba tiba saja, panggilan Gus dinisbatkan kepada seorang Ulama, atau seorang kyai. Bahkan ada sebagian yang menganggap Gus itu “lebih tinggi” tingkatannya dibanding Kyai.

Di Jawa Timur, seorang anak kyai dikenal sebagai Gus. Mungkin karena seorang Kyai sangat dihormati, maka anaknya dipanggil gus, sebagaimana pangilan Gus pada anak “keluarga terhormat” di Jawa Tengah. Selama seorang anak kyai belum “pantas” dipanggil kyai, dia akan tetap dipanggil Gus.

Jadi, sebenarnya, jika anda menyebut seorang Kyai dengan panggilan Gus, berarti anda menganggapnya “belum layak” dipanggil kyai. Tetapi karena “pergeseran makna” akibat dinamisasi bahasa, Gelar “Gus” kini diberikan pada seorang ulama yang dihormati.

Pada suatu hari, setelah sowan ke beberapa saudara di Salatiga, saya mampir ke seorang sepupu. Orang orang memanggilnya Gus Imam (almahrum). Entah mengapa dia sangat dihormati, bahkan lebih dihormati dibanding paman paman kami yang “levelnya Kyai”. Padahal usianya masih muda, hanya 2 tahun lebih tua dari saya.

Sampai di rumah, saya  bercerita kepada ibuku bahwa tadi saya ketemu dengan “Gus Imam”. Ibuku marah, dan mengingatkan bahwa beliau adalah “kakakku”. Tidak selayaknya saya memanggilnya dengan panggilan “anak kecil” seolah saya lebih tua darinya.

Sebenarnya saya hanya bercanda ketika memanggil “kakak sepupuku” dengan panggilan Gus Imam. Karena masyarakat memang memanggilnya Gus Imam. Biasanya saya memanggilnya dengan Mas Imam.

Ketika dimarahi ibuku, saya menjawab, bahwa Gus Dur, yang sudah sepuh juga dipanggil Gus..

Ibuku tetep bersikeras, saya harus memanggilnya Mas.  Gus Imam adalah kakak saya.

Kembali saya teringat masa kecilku yang sangat indah, Ketika saya masih dipanggil dengan panggilan Gus Tatung. Gus di sini bukan panggilan untuk seorang Kyai. Tetapi panggilan terhadap seorang anak kecil.

Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com




Tidak ada komentar