MENGGENDONG KELEDAI
MENGGENDONG KELEDAI
Cerita ini mungkin sudah sering anda dengar dengan berbagai
versi. Saya sendiri mendengarnya pada
waktu kecil dari cerita sufistik. Cerita
seorang yang bernama Nasrullah yang lugu
tetapi selalu berusaha menegakkan akhlak yang mulia di hadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Pada suatu hari Nasrullah melakukan perjalanan ke pasar yang
cukup jauh dari kediaman rumahnya. Dia
bermaksud menjual seekor keledainya karena kebutuhan yang mendesak. Dia
ditemani oleh seorag anaknya yang masih sagat muda. Sekitar 10 tahunan.
Karena hanya keledai itu satu satunya kendaraan yang
dimilikinya, Nasrulah dan anaknya itu, bersama sama naik di punggung keledai
itu. Dan dalam perjalanannya, dia
bertemu dengan berbagai orang, dengan berbagai komentar terhadap kelakuannya
dalam menaiki keledainya, bersama anaknya itu.
Mula mula, ketika memasuki permukiman yang agak ramai, ada
orang yang membicarakan dirinya. “Keledai kecil kok dinaiki berdua, sungguh
orang yang tidak mengenal rasa kasihan”, demikian kata seseorang memprotes
perlakuannya terhadap keledainya. Karena
tidak enak dengan “pandangan” orang orang yang menganggapnya tidak kenal
kasihan, maka dia kemudian memutuskan agar hanya Si anak yang naik keledai,
sedangkan Nasrullah memutuskan untuk berjalan dan mengikuti keledai itu.
Dan ketika Nasrullah berjalan sambil menuntun keledainya,
dan anaknya berada di punggung keledai, masih
saja ada orang yang “membicarakannya”. “Sungguh anak yang tidak hormat pada
orang tuanya”, demikian kata mereka karena protes terhadap si anak, yang membiarkan
orang tuanya berjalan kaki, sedangkan dia enak enak naik keledai.
Kembali Nasrullah merasa tidak enak karena protes dari orang
orang yang melihat nya berjalan kaki, sementara anaknya malah naik
keledai. Dia memutuskan perubahan “formasi”. Sekarang gantian dia yang menaiki keledai dan
membiarkan anaknya berjalan kaki. Dia
harap, kali ini tidak ada yang memprotesnya lagi. Ternyata, harapannya itu
tidak terjadi. Orang orang di jalan masih memprotesnya.
Kali ini mereka mengatakannya sebagai orang tua tidak tahu
malu. Karena membiarkan anaknya yang masih kecil jalan kaki, sedangkan dia
sendiri malah naik keledai. “orang tua
macam apa itu?”, kata meraka.
Merasa masih diprotes oleh orang orang yang ditemuinya di
jalan, dia menjadi tidak enak hati. Akhirnya mereka berdua memutuskan berjalan
kaki dan membiarkan keledainya tanpa beban sama sekali. Kali ini, siapa yang
mau protes lagi?”, katanya dalam hati.
Sepertinya semua yang mereka “inginkan” sudah “dia penuhi”.
Tetapi, ketika dia hanya menuntun keledainya, tanpa
dikedarai, masih saja orang membicarakannya, bahkan sambil mengolok olok. “Dungu sekali orang itu, bukannya naik
keledainya ketika melakukan perjalanan jauh, malah menuntunnya saja.
Setelah “memenuhi” semua keinginan “penonton”, masih saja
dia mendapatkan celaan bahkan olok olok.
Apa lagi yang bisa dilakukan? Rasanya tidak ada lagi.
Nasrullah berpikir dengan keras untuk menemukan “cara baru”
membawa keledainya ke pasar tanpa diolok olok oleh orang orang yang melihatnya.
Akhirnya, cara baru itu ditemukannya. Walaupun agak “radikal”, tetapi bagaimana
lagi? Semua cara sudah dilakukan dan semua tidak disukai orang.
Akhirnya dia memutuskan untuk “menggendong” keledainya
menuju ke pasar. Tentu saja banyak orang yang menganggapnya sudah gila. Punya
keledai, bukannya dikedarai malah digendong gendong J
Itulah akibat selalu “mendengarkan” kata orang dan ingin
memenuhi keinginan semua orang. Apapun yang
anda lakukan, pasti ada yang tidak suka. Dan ada pula yang mencelanya. Kata
kata dari oarang lain memang perlu kita perhatikan sebagai masukan. Tetapi keputusan
tetap di tangan anda.
Dan jika anda sudah melakukan yang terbaik menurut situasi
dan kondisi yang hanya anda sendiri yang mengetahuinya, anda tidak perlu “khawatir”
dangan kata orang.
Just do your best....
Semoga bermanfaat
Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com
Posting Komentar untuk "MENGGENDONG KELEDAI"