BELAJAR DEMOKRASI DARI SEEKOR NAGA

BELAJAR DEMOKRASI DARI SEEKOR NAGA

Pada suatu masa, ada seorang pemuda yang sangat terobsesi dengan naga. Baginya naga itu makhluk sakti yang sangat luar biasa. Kecintaannya itu diwujudkan dalam bentuk ornamen ornamen naga yang menghiasai rumahnya. Bahkan pedang yang dimilikinya juga berukiran naga. Dan dia bilang kepada orang orang, jika suatu saat dia memiliki anak laki laki, akan diberinya nama naga.

Obsesinya tentang naga terkenal sampai ke mana mana. Hingga suatu saat, berita itu sampai ke telinga seekor naga. Sang naga tentu merasa bangga ada manusia yang memujanya. Dan suatu saat dia ingin berjumpa dengan manusia yang memujanya itu.

Dalam pemikiran naga, pemuda itu pasti sangat senang, jika dia bisa menemui naga pujaannya itu. Itulah sebabnya naga yang baik hati itu, ingin menemuinya untuk membuat sang pemuda senang. Hingga pada suatu hari sang naga turun dari persembunyiannya untuk menemui sang pemuda.

Dengan kesaktiannya, tentu mudah bagi si naga untuk menyelinap masuk ke kamar tidur pemuda itu, tanpa diketahui oleh orang orang. Naga sangat berharap si pemuda akan berteriak kegirangan ketika mendapatkan kejutan darinya itu.

Tetapi apa yang diperkirakan oleh Naga ternyata meleset. Begitu dia berhasil masuk ke kamar tidur, si pemuda justru sangat terkejut dan takut luar biasa. Saking takutnya dia malah pingsan. Ternyata si pemuda tidak benar benar menyukai naga. Dia hanya “mengira” menyukai naga. Itulah sebabnya ketika naga beran benar hadir di hadapannya, dia justru ketakutan. Jika dia benar benar menyukainya, harusnya dia sangat gembira, bukannya malah pingsan.

Itulah manusia, terkadang dia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Merasa ikhlas, padahal kadang tidak rela, merasa sabar, padahal hati masih bergejolak, merasa spiritual, tetapi masih memendam kemarahan dan mengharap pujian.

Tiba tiba saja saya ingat beberapa teman saya yang sangat peduli dengan gejolak politik di negeri ini. Dulu, ketika jagonya menang dalam pemilu, betapa seringnya mereka menasehati “lawan” nya agar legowo. “move on, dong, move on.. , begitulah kata kata yang sangat sering mereka ucapkan.

Tetapi ketika tokoh pujaannya menderita kekalahan dalam pilkada, tiba tiba mereka lupa dengan ucapan yang sering didengungkan, ketika jaman eforia atas kemenangan tokohnya dulu. Mereka lupa dengan slogan “move on” yang mereka tujukan pada teman teman yang berlawanan arah dengan politiknya. Akibatnya mereka sendiri justru gagal “move on”, karena tidak menerima kekalahan tokoh yang diidolakannya itu.

Hampir setiap status di Facebook yang ditulisnya, adalah hujatan terhadap tokoh yang mengalahkan idolanya. Dan terhadap sang idola, dilayangkanlah pujian setinggi tingginya. Semua berita dibingkai dalam sudut pandang tertentu, untuk mengagungkan sang idola, dan menyudutkan sang lawan.

Di sisi lain, teman teman yang berbeda pandangan denganya, mulai gerah dengan statement ststement yang dia ucapkan.  Mereka juga mulai menasehatinya. Nasehatnya persis sama dengan yang diucapkannya dulu. Mereka memintanya agar Legowo menerima kekalahan dan mengatakan, “Move on dong move on....”.

Apakah mereka yang menasehati lawan lawannya agar legowo menerima kekalahan, juga akan legowo, ketika tokoh yang didukungnya menderita kekalahan ?

Jika kita benar benar menjunjung tinggi nilai demokrasi, kita harus benar benar siap menang maupun siap kalah. Mejelek jelekkan lawan tanpa dukungan data yang logis dan terpercaya, justru menunjukkan ketidaksiapan kita dalam berdemokrasi.

Yang jadi masalah seringkali kita hanya "merasa" siap dalam berdemokrasi. Hanya "merasa" sudah memberikan penilaian yang adil. 

Seperti si pemuda , yang "merasa" menyukai naga, tetapi pingsan ketika melihat naga. Seringkali kita merasa sudah memahami nilai nilai demokrasi, tetapi tidak siap dalam berdemokrasi.


Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com






Posting Komentar untuk "BELAJAR DEMOKRASI DARI SEEKOR NAGA"