Apakah Sampean Ingin Sakti?

APAKAH SAMPEAN INGIN SAKTI

Dulu ada teman yang bertanya kepadaku, ketika pulang dari naik gunung.  Sampean susah susah naik sampai puncak, ujung ujungnya ya Cuma mau turun lagi hehe....

Mereka bertanya seperti itu karena tidak memahami  alam berpikirku, bahwa puncak pencapaian itu bukanlah destinasi terakhir perjuanganku. Itu hanya latihan saja, sambil menikmati keindahan yang jarang dilihat sehari hari. Masih banyak destinasi destinsi yang lain yang ingin saya capai, selain puncak puncak gunung.

Saya menjawab pertanyaan mereka dengan santai juga, sesantai ketika mereka bertanya kepadaku. Kalau gak turun ya gak ketemu sampean lagi, mosok mau gabung sama mbah Petruk Gunung Merapi 😊

Ketidak tahuan seringkali membuat orang berpikir negatif terhadap orang lain. Kalau tidak boleh dibilang ketidak tahuan, mungkin yang tepat adalah sudut pandang yang berbeda. Mungkin itu yang pas ya..

Ketika ada orang yang bertanya kepada seseorang yang suka mengembara dari satu tempat “angker” ke tempat “angker” lainnya, ada orang yang  bertanya. Sebenarnya pertanyaannya santai santai  saja seperti pertanyaan teman saya yang mempertanyakan Hoby naik gunungku.  

Apakah dengan naik turun gunung dan keluar masuk hutan bisa menjadikanmu semakin sakti?  Walaupun saya tidak memiliki derajat  waskito, saya bisa membaca, bahwa yang ditanya pasti akan menjawab dengan guyonan juga. 

Ingatan saya melayang 25 tahun yang lalu, ketika saya masih sering diskusi dengan Bp Lukito almahrum yang tinggal di Dataran  kaki Gunung Muria.  Pada waktu itu beliau didatangi banyak orang untuk mendapkan “nomor buntut” yang  diberikannya.

Pada waktiu itu sudah 7 kali berturut turut turut dia  berhasil membongkar “kode buntut” , sehingga rumahnya bayak dikunjungi orang. Di sekitar rumahnya sampai banyak penjual makanan yang ikut meramaikannya.

Merasa penasaran dengan kondisi itu, saya bertanya kepada beliau. Mengapa Beliau tidak membeli sendiri nomor  itu, dan bisa dipakai untuk modal usaha.

Beliau menjawab,”yen aku melu tuku mas, aku iso kesiku”. Artinya jika beliau ikut membeli nomor yang diketahuinya akan keluar itu, maka dia bisa kena “Siku”.  Kesiku itu orang yang mendapatkan bencana karena melanggar aturan tertentu. Kesiku  itu biasanya berupa bencana yang menimbulkan kematian pelakunya.

Mendengar konsep kesiku itu, maka batal cara berpikirku yang selama ini menganggap orang yang kasih nomor itu pasti ada pamrihnya.  Kalau tidak ada pamrih lain, tentu dia sendiri yang akan membelinya dan kaya. 

Kembali kepada seorang teman yang bertanya tentang “lesaktian” kepada seseorang yang sedang menjalankan pengembaraan.  Dan saya tahu, si pengembara tentu tidak akan menjawabnya.

Dalam khasanah keilmunan Jawa, ada kosep yang dinamakan Laku. Bisa laku batin, fisik, maupun perbuatan.  Dan yang terkadang susah dipahami adalah laku perbuatan, seperti tidur duduk, tidak menyentuh kan punggung (termasuk bersandar atau tdur relentang), ngedan (pura pura gila dan tidak makan kecuali dari pemberian atau yang dibuang) dll.

Ada juga yang suka mengembara mencari ilmu dari banyak orang, ada juga yang mendatangi berbagai tempat tempat tertentu sesuai dengan ritual mereka.

Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dicari mereka. Terkadang mereka sedang berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan cara mereka. 

Tidak terlepas kemungkinan mereka sedang berdoa untuk Indonesia.  Bukan untuk menjadi sakti seperti yang teman saya kira.

Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com




Posting Komentar untuk "Apakah Sampean Ingin Sakti?"