Halaman

    Social Items


GAIRAH DAN PENANTIAN


Pada tahun 1987, saya mulai Kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di semarang, sebelum Kuliah di Yogyakarta. Kampus kami terletak di desa Tembalang, sejauh 1,9 KM dari Jalan raya. Pada waktu itu belum ada kendaraan umum yang menghubungkan jalan raya ke Kampus kami.  Hanya ada kendaraan “Plat hitam” colt L900 yang menghubungkan jalan raya Ngesrep dengan Kampus Tembalang.

Kendaraan Colt  disel “Tua” itu hanya akan berjalan jika kursi sudah terisi penuh. Jadi, kami harus rela menunggu 30 hingga 60 menit hingga “pesawat” diberangkatkan. Itulah sebabnya, kami lebih suka berjalan kaki hingga jalan raya, jika mau “jalan jalan” ke kota Semarang. Atau ke Banyumanik, Kota kecamatan untuk sekedar menonton bioskop, atau ke “Sarinah”, sebuah toko Swalayan yang cukup terkenal pada waktu itu.

Saya tinggal di “Perumda” , yaitu kompleks  perumahan daerah, satu satunya perumahan yang ada di kawasan tembalang pada waktu itu.  Sekeliling perumahan masih dikelilingi persawahan. Bahkan di depan rumah kos tempat tinggal saya, bisa dilihat pemandangan sawah membentang, dan sebuah rumah mewah milik “pejabat”.   

Pada waktu itu, tempat kos saya sangat sepi dan terkesan “terpencil”. Walaupun sekarang sudah ramai.  Pada waktu saya ke sana tahun kemarin, sudah tidak bisa saya temukan “rumah rumah sederhana” yang dulu mendominasi. Tidak ada lagi sawah tempat kami mencari belut di waktu malam. Yang ada adalah rumah rumah mewah minimalis dan kafe kafe .

Dulu, karena lingkungan kampus sangat sepi, kami lebih sering “belajar” dan mengerjakan tugas tugas. Selain itu, paling paling kami hanya pergi ke “warung makan” bareng bareng  teman satu kos. Cuma itu kegiatan kami, selain pergi ke kampus. Kegiatan rutin yang tentu sangat membosankan.

Pada suatu hari saya berkenalan dengan seorang cewek dari jurusan Teknik Kimia. Kebetulan kami sama sama mengikuti kuliah dasar yang sama. Entah mengapa kami bisa sangat akrab. Padahal kami berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang jauh berbeda. Bapaknya adalah seorang pengusaha di bidang perkapalan. Dan namanya diabadikan pada sebuah nama kapal milik Bapaknya. Sedangkan saya adalah anak seorang Guru SD.

Pada suatu hari dia mengajak saya untuk bermain Tenis di lapangan tenis Universitas Pusat di Pleburan. Saya bilang bahwa saya tidak mahir bermain tenis.  Dan dia meyakinkan saya bahwa dia juga tidak begitu mahir bermain tenis. Akhirnya kami sepakat untuk bermain pada hari dan jam  yang disepakati.

Tiba tiba saja, hari hari sebelum bermain tenis bersamanya, saya merasakan gairah yang luar biasa. Sebuah semangat hidup  yang  membara  entah datang dari mana. Padahal pada waktu bermain tenis, rasanya biasa biasa saja.  Tiba tiba saya merasa mendapatkan inspirasi. Bahwa “penantian” adalah hal yang sangat menggairahkan.

Untuk membuktikan “hipotesa saya” bahwa penantian itu adalah hal yang menggembirakan, saya mulai membuat “penantian penantian baru”.  Salah satunya adalah mendengarkan sandiwara Radio berseri di sore hari. Kebetulan teman sekamar membawa radio, dan dia pengemar sandiwara radio tersebut.  Judulnya “Ibuku malang, Ibuku tersayang”. Salah satu tokohnya bernama Baskoro. Dan logat jawa saya yang saya bawa sekarang, mirip dengan logat Baskoro ketika berbicara J.

Ternyata benar, sebuah penantian akan membuat jiwa kita “hidup”. Penantian akan membuat hidup kita bergairah. Itulah sebabnya kita harus selalu memiliki “Tujuan hiidup”. Harus selalu ada tujuan yang harus dicapai. Jika sudah trcapai, segera buat tujuan yang baru dan seterusnya.

Dengan bergerak tanpa henti, dari satu tujuan ke tujuan yang lain, jiwa kita menjadi hidup dan bergairah. Tentu saja Tujuan hidup yang sesuai dengan Nilai Nilai Yang kita pegang.

Karena sesungguhnya
Selokan yang berhenti akan berbau busuk
Engsel yang tidak digunakan akan berkarat
Sendi yang jarang digerakkan akan kaku
Orang yang kehilangan arah
Akan kehilangan gairah

Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com







Gairah & Penantian


GAIRAH DAN PENANTIAN


Pada tahun 1987, saya mulai Kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di semarang, sebelum Kuliah di Yogyakarta. Kampus kami terletak di desa Tembalang, sejauh 1,9 KM dari Jalan raya. Pada waktu itu belum ada kendaraan umum yang menghubungkan jalan raya ke Kampus kami.  Hanya ada kendaraan “Plat hitam” colt L900 yang menghubungkan jalan raya Ngesrep dengan Kampus Tembalang.

Kendaraan Colt  disel “Tua” itu hanya akan berjalan jika kursi sudah terisi penuh. Jadi, kami harus rela menunggu 30 hingga 60 menit hingga “pesawat” diberangkatkan. Itulah sebabnya, kami lebih suka berjalan kaki hingga jalan raya, jika mau “jalan jalan” ke kota Semarang. Atau ke Banyumanik, Kota kecamatan untuk sekedar menonton bioskop, atau ke “Sarinah”, sebuah toko Swalayan yang cukup terkenal pada waktu itu.

Saya tinggal di “Perumda” , yaitu kompleks  perumahan daerah, satu satunya perumahan yang ada di kawasan tembalang pada waktu itu.  Sekeliling perumahan masih dikelilingi persawahan. Bahkan di depan rumah kos tempat tinggal saya, bisa dilihat pemandangan sawah membentang, dan sebuah rumah mewah milik “pejabat”.   

Pada waktu itu, tempat kos saya sangat sepi dan terkesan “terpencil”. Walaupun sekarang sudah ramai.  Pada waktu saya ke sana tahun kemarin, sudah tidak bisa saya temukan “rumah rumah sederhana” yang dulu mendominasi. Tidak ada lagi sawah tempat kami mencari belut di waktu malam. Yang ada adalah rumah rumah mewah minimalis dan kafe kafe .

Dulu, karena lingkungan kampus sangat sepi, kami lebih sering “belajar” dan mengerjakan tugas tugas. Selain itu, paling paling kami hanya pergi ke “warung makan” bareng bareng  teman satu kos. Cuma itu kegiatan kami, selain pergi ke kampus. Kegiatan rutin yang tentu sangat membosankan.

Pada suatu hari saya berkenalan dengan seorang cewek dari jurusan Teknik Kimia. Kebetulan kami sama sama mengikuti kuliah dasar yang sama. Entah mengapa kami bisa sangat akrab. Padahal kami berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang jauh berbeda. Bapaknya adalah seorang pengusaha di bidang perkapalan. Dan namanya diabadikan pada sebuah nama kapal milik Bapaknya. Sedangkan saya adalah anak seorang Guru SD.

Pada suatu hari dia mengajak saya untuk bermain Tenis di lapangan tenis Universitas Pusat di Pleburan. Saya bilang bahwa saya tidak mahir bermain tenis.  Dan dia meyakinkan saya bahwa dia juga tidak begitu mahir bermain tenis. Akhirnya kami sepakat untuk bermain pada hari dan jam  yang disepakati.

Tiba tiba saja, hari hari sebelum bermain tenis bersamanya, saya merasakan gairah yang luar biasa. Sebuah semangat hidup  yang  membara  entah datang dari mana. Padahal pada waktu bermain tenis, rasanya biasa biasa saja.  Tiba tiba saya merasa mendapatkan inspirasi. Bahwa “penantian” adalah hal yang sangat menggairahkan.

Untuk membuktikan “hipotesa saya” bahwa penantian itu adalah hal yang menggembirakan, saya mulai membuat “penantian penantian baru”.  Salah satunya adalah mendengarkan sandiwara Radio berseri di sore hari. Kebetulan teman sekamar membawa radio, dan dia pengemar sandiwara radio tersebut.  Judulnya “Ibuku malang, Ibuku tersayang”. Salah satu tokohnya bernama Baskoro. Dan logat jawa saya yang saya bawa sekarang, mirip dengan logat Baskoro ketika berbicara J.

Ternyata benar, sebuah penantian akan membuat jiwa kita “hidup”. Penantian akan membuat hidup kita bergairah. Itulah sebabnya kita harus selalu memiliki “Tujuan hiidup”. Harus selalu ada tujuan yang harus dicapai. Jika sudah trcapai, segera buat tujuan yang baru dan seterusnya.

Dengan bergerak tanpa henti, dari satu tujuan ke tujuan yang lain, jiwa kita menjadi hidup dan bergairah. Tentu saja Tujuan hidup yang sesuai dengan Nilai Nilai Yang kita pegang.

Karena sesungguhnya
Selokan yang berhenti akan berbau busuk
Engsel yang tidak digunakan akan berkarat
Sendi yang jarang digerakkan akan kaku
Orang yang kehilangan arah
Akan kehilangan gairah

Begawan Tung
Begawantung.blogspot.com







Tidak ada komentar