NARIMO ING PANDUM
NARIMO ING PANDUM
Memiliki client
yang “sukses” adalah salah satu kebaagiaan seorang “Personal Life Coach”. Dan
itu saya rasakan ketika seseorang mengirimkan pesannya melalui Whatsapp. “Pak,
besuk kita ngopi yuk”, begitu kata katanya mengawali pesannya minggu kemarin.
Besuknya,
hari senin kami bertemu di salah satu kafe di Jakarta selatan, dan dengan
sangat bersemangat menceritakan “Sukses” yang dialaminya. Bahkan perusahaan di
mana dia bekerjasama memberinya “Rewards” berupa jalan jalan ke luar negeri.
Sebelumnya,
beberapa bulan yang lalu, dia pernah mengeluhkan hambatan mentalnya untuk mencapai
sukses di bisnisnya. “Saya kok sering merasa malas ya, untuk melakukan sesuatu
yang perlu saya lakukan untuk sukses di bisnis saya. Padahal untuk melakukan
aktivitas sehari hari sebagai “Ibu rumah tangga” dia tidak malas. Ya contohnya
masak, bersih bersih, menyiapkan keperluan anak anak, dan tentu saja ARISAN.. J
Ada 2 value
(Nilai) ang saya anggap “saling baerentangan” di dalam dirinya. Tentu saja itu
itu akan membuat hidupnya selalu “merasa tidak puas”. Dai satu sisi, dia mengodentifiasikan dirinya
sebagai “orang yang narimo ing pandum”, sedang di sisi yang lain dia ingin “sukses”
sehingga diapreasiasi oleh masarakat atau orang orang sekitarnya.
Narimo ing
pandum (menerima kepastian/takdir) adalah salah satu filsafat jawa yang membuat
mereka kuat menghadapi semua cobaan hidup. Tetapi ketika dipandang dari satu
sisi saja, maka filsafat ini bisa menjadi kelemahan. Apa itu?
Ketika “narimo
ing pandum” dipandang dari sisi “menerima semua kejadian yang buruk” saja, maka
itu akan membuat orang cenderung tidak mau berusaha lebih keras untuk mencapai
suksesnya. Itu yang membuat Clien saya itu seolah “malas” untuk melakukan
sesuatu yang bisa membuatnya sukses di bisnisnya.
Karena dia
sangat “BANGGA” dengan filsafatnya itu, maka saya harus melakukan “INDUKSI”
agar salah satu nilai yang dia pegang dengan kuat itu bisa memperkuat
suksesnya, bukan justru menghambatnya. Saya harus membawa “INTENSI POSITIF”
dari value itu, menjadi sesuatu yang memberdayakan.
Saya katakan
kepadanya bahwa “Narimo ing pandum” itu ya harus komplit. Jika dia bisa
menerima kondisi “biasa biasa saja”,
maka dia juga harus menerima kondisi “sukses”. Seperti ketika dia
menerima suaminya, tentu harus diterima kebaikan kebaikannya dan juga
kekurangannya. Kalau hanya mau menerima “kebaikannya” saja, bukankah itu yang
namanya egois?
Itulah
sebabnya, jika dia bia menerima kondisi yang biasa biasa saja (Ekonominya baik
baik saja) maka dia juga harus benerima kondis “SUKSES YANG LUAR BIASA”.
Dan ketika
dia “setuju” dengan “induksi” yang saya berikan, bahwa jika dia merasa “narimo ing pandum, maka bawah
sadarnya akan menerima kondisi apapun
yang terjadi pada dirinya, termasuk
SUKSES.
Induksi itu
saya berikan agar “afirmasi” yang saya berikan kepadanya dalam bentuk audio
yang saya buat “khusus” untuknya, diterima oleh bawah sadarnya tanpa
perlawanan. Dan ketika bagian (PARTS)
yang ada di dalam bawah sadarnya sudah tidak “melawan” arah suksesnya, maka sukses akan datang dengan
sendirinya. Segala upaya dan kegiatan ayng dilakukan akan bergrak munuju sukses
yang diinginkannya.
Begawan
Tung
Begawantung.blogspot.com
Posting Komentar untuk "NARIMO ING PANDUM "