CERITA DI JAMAN REVOLUSI
Pada tahu 2017, saya berkunjung Kamboja dan sempat kemuseum genosida TUOL SLENG di Phnom Penh. Museum itu adalah bekas sekolah yang menjadi pusat pembantaian rakyat oleh Khmer Merah, Rezim K0mun1s di Kamboja.
Di sana terpampang foto foto korban sebelum dan sesudah dieksekusi. Jadi, sebelum menjadi korban para algojo, mereka difoto dulu sebagai dokumentasi. Betapa sadis dan terencana pembantaian yang mereka lakukan terhadap anak bangsanya sendiri.
Ketika manyaksikan foto foto itu, tiba tiba saja saya teringat bapak saya yang juga hampir menjadi korban seperti mereka. Hanya kasih Allah yang maha agung yang menyelamatkannya.
Pada waktu itu, tahun 60'an Bapakku tinggal di sebuah desa yang mayotitas penduduknya pendukung sebuah partai yang kini dilarang. Agar tidak dipermasalahkan, sebut saja Partai Terlarang Indonesia PTl.
Kata ibuku, para simpatisan PTl ini sangat galak, tidak segan segan mengeroyok, bahkan melakukan penculikan terhadap "lawan lawannya".
Bahkan bapakku hampir saja jadi korban penculikan, tetapi bisa lolos karena kecerdikan beliau. Katanya setiap korban penculikan akan ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Dalam situasi politik yang chaos, di mana keselamatannya terancam karena tinggal di wilayah "rawan" beliau tetap menjaga hubungan baik dengan penduduk sekitar. Bahkan salah satu sahabat beliau adalah Pak Lurah setempat yang terkenal sakti.
Pergaulannya dengan Pak Lurah yang terkenal "Dugdeng" itu, tentu membuat segan "lawan lawan politik" untuk mengganggunya. Ditambah lagi strategi strategi pencitraan yang beliau buat, agar dikira "dugdeng" seperti pak lurah sahabatnya itu :)
Pada suatu hari, beliau menangkap dan membunuh seekor ular sebesar pohon pisang dengan panjang 12 meter. Ular itu tinggal di sebuah gua, yang dianggap angker oleh penduduk desa.
Kontan penduduk desa menganggap beliau orang yang sakti dan kuat tenaganya. Ular piton sebesar itu ditakhlukkannya seorang diri.
Sebenarnya bukan karena kuat, sehingga beliau bisa mengalahkan ular piton sepanjang 12 meter. Tetapi karena beliau mengetahui kelemahan ular tersebut.
Ular itu habis makan seekor anak sapi, sehingga cenderung tertidur pulas, dan tidak ganas karena kekenyangan. Itulah sebabnya ketika didekati oleh bapakku, dia tidak bergerak, apalagi menyerang.
Mula mula dielus elusnya kepala ular itu, dan ketika tampak tenang, diambillah ekor si ular kemudian dikunci di tangan kirinya dengan lembut. Tentu sambil membelai ular agar tidak beringas.
Ketika leher ular sudah didapat, segera dicekik sekuat tenaga. Ular itu meronta, tetapi tidak dapat berbuat banyak, karena ekornya sudah dikunci, sehingga tidak bisa membelit balik.
Dan ular itu pun tewas, dagingnya dimakan oleh penduduk desa, sedangkan kulitnya beliau bawa pulang.
Peristiwa penakhlukan ular piton sepanjang 12 meter, yang dilakukan oleh seorang pemuda itu, tersebar ke mana mana. Bapakku dianggap sebagai orang yang sakti, sehingga membuat orang segan kepadanya.
Apakah para simpatisan PTl juga segan kepada bapakku?
Tentu mereka tidak berani macam macam kepada beliau. Tetapi mereka punya banyak cara untuk melampiaskan kejengkelannya pada beliau. Ketika mereka habis "rapat akbar" di lapangan, sebagian mereka diam diam mendatangi rumah bapakku. Sebagian dari mereka berak di halaman rumah.
"kurang ajar," Kata beliau, sambil tertawa, ketika menceritakan peristiwa itu kepadaku.
Sampai pada suatu hari, ada yang mengabarkan bahwa beliau akan diculik di malam hari. Para pelaku berasal dari "dukuh tetangga". Beliau justru tidak gentar sama sekali. Para penculik itu dicegatnya di sebuah kebun, tempat para penculik akan lewat ketika akan mengeksekusinya.
Dan hebatnya, para penculik itu dicegatnya "seorang diri". Itulah sebabnya mereka terlihat gentar melihat orang yang mau diculik, justru mencegat mereka, "seorang diri".
"kalian mungkin bisa mengalahkanku, tetap "belasan orang" diantara kalian pasti akan tewas," Kata bapakku menantang mereka.
Entah mengapa, mereka gentar, dan berbalik pulang. Mungkin mereka gentar dengan reputasi bapakku yang terkenal sakti dan kuat.
Tetapi sebenarnya bapak saya tidak benar benar sendirian. Beliau juga bawa puluhan "pasukan" yang bersembunyi di semak semak.
Itulah sebabnya, mereka, para penculiik itu mengira bapaku mencegat mereka seorang diri. Padahal didukung oleh "sepasukan" orang yang sudah mempersiapkan diri sebelumnya.
Dan reputasi bapaku sebagai orang yang sakti itu pun membuat para simpatisan PTI segan. Hingga peristiwa G30S yang berdarah dan awal jaman orde baru, bapakku masih bertugas di sana, mereka tidak ada yang mengganggu.
Hingga tahun 1975, bapakku ditugaskan di kota Kudus.
Kata bapakkua, peristiwa beristiwa tahun 1965 itu sangatlah berdarah. Banyak orang terbunuh di jalan jalan.
Pak lurah yang sakti, konon ditangkap oleh Tentara karena dianggap simpatisan partai terlarang itu. Beliau dimasukkan ke dalam gua beracun.
TEtapi, Pak lurah paham betul dengan situasi gua yang justru sering digunakannya untuk bertapa.
Kata pak Lurah, uap racun yang ada di dalam gua hanya ada di permukaan tanah, setinggi sekitar 1 meter saja. Itulah sebabnya ketika dilempar ke dalam gua, beliau malah bertapa, dengan menggantungkan dirinya pada dahan pohon, dengan posisi kepala di bawah, kaki di atas.
Sama dengan Bapaku, beliau juga selamat dari revolusi berdarah yang terjadi di negeri ini.
Semoga tidak terulang kembali...
Amin
Begawan Tung
begawantung.blogspot.com
Posting Komentar untuk " CERITA DI JAMAN REVOLUSI"