SEBUAH CERPEN BERJUDUL : CONDRO SETO
CONDRO SETO
Pada suatu hari saya mendapati sebuah keris yang tersimpan di almari nenek saya. Sebelumnya Bapak selalu melarang saya untuk memegangnya. “Jangan le, angsarnya panas, tidak cocok untuk mu, kata beliau. Kemudian beliau bercerita tentang kerusuhan rasial yang terjadi di kota kami pada tahun 1918. Kerusuhan terjadi karena umat islam di Kudus merasa dilecehkan keyakinannya.
“Kakekmu itu itu keturunan Mangkunegaran yang belajar ilmu agama pada Kyai Asnawi di Kudus. Mbah Asnawi seorang tokoh spiritual yang sangat disegani. Bahkan Kyai Hasyim Ashari, tokoh NU yang dihormati banyak pihak pun, dikabarkan sangat hormat kepadanya. Itulah sebabnya kakekmu begitu disegani, walaupun usianya pada waktu itu masih 13 tahun”, kata bapak.
Konon kerusuhan rasial yang terjadi pada waktu itu menumpahkan banyak darah, dan kakekku dianggap sebagai salah satu pemimpin gerakan. Katanya, ada pendekar berkucir dari mancanegara yang disiapkan khusus untuk membuat kekacauan, ketika orang orang sedang melakukan ibadah sholat jum’at di Masjid Al-Aqsa, menara Kudus. Itulah sebabnya kakek terpaksa harus menghabisi para pendekar pengacau tersebut.
Karena kesalahannya itu, beliau kemudian dihukum berat oleh pemerintah kolobial Hindia Belanda. Gurunya dihukum 2 tahun, sedangan beliau dihukum 13 tahun. Kata bapak, kakekku baru bebas setelah beliau berusia 26 tahun.
Jadi jangan dekati keris itu le, tidak cocok untukmu”, kata bapak. Keris itu dianggap sudah berdarah, jadi tidak boleh dicabut lagi dari waranganya. Karena jika dicabut, konon dia akan meminta darah. Semenjak itu, saya tidak berani lagi mendekatinya.
Bapak selalu wanti wanti kepada saya, “Leluhurmu, baik dari bapak maupun dari ibumu, selalu terlibat dalam perjuangan suci. Perjuangan untuk melepaskan bangsamu dari penindasan asing. Ingat, kedua Kakekmu pernah dihukum mati oleh orang asing, walaupun diselamatkan oleh Gusti Allah. Perjuangan mereka banyak menumpahkan arah. Jadi kamu harus selalu awas dengan suasana hatimu. Darah yang tertumpah dari tangan tangan mereja jangan sampai menular kepada dirimu. Itulah sebabnya bapak tidak mengijinkanmu menyentuh keris itu”.
Beberapa tahun setelah wafatnya bapak, entah mengapa tiba tiba saya menjadi sangat tertarik untuk memiliki keris itu. Mungkin karena ada yang memberi tahu saya, bahwa seorang kesatria Jawa belum lengkap kalau tidak memiliki 5 hal, yaitu garwo, wisma, turonggo, curigo dan kukilo (Istri, rumah, kuda, keris dan burung). Dan saya memiliki keris warisan yang tersimpan di almari nenek saya.
Pada suatu hari keris, warisan kakekku itu saya bawa ke tempat kos di yogyakarta. Pada waktu itu saya sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Karena tidak tahu tentang dunia keris, saya tidak mengetahui apa itu tangguh, dapur, pamor apalagi siapa empu pembuatnya. Saya hanya merasa bangga memiliki benda yang menunjukkan saya sebagai orang jawa tulen.
Setiap tanggal 1 syuro, keris itu saya “mandikan” dan saya beri minyak cendana. Kegiatan saya ini tentu menarik perhatian teman teman kos, terutama yang berasal dari luar jawa. Dan ada salah seorang di antara mereka yang kemudian bercerita tentang “senjata” tradisional suku yang dimilikinya.
Pada suatu hari kami terlibat perdebatan tentang kepemimpinan Bapak Habibi. Sebagai orang Sulawesi, teman saya pecinta senjata tradisional itu, tentu fanatik untuk membelanya. Entah mengapa tiba tiba ada hawa panas yang mempengaruhi pikiran kami, perdebatan terjadi dengan sengit.
“Kalau begitu kita perang saja. Mas boleh ambil keris saya ambil badik,” katanya ketika emosinya tidak terkontrol. Tantangannya itu saya jawab dengan mengatakan bahwa saya tidak akan membawa senjata apapun untuk mengalahkan dia. Sebagai orang yang dididik untuk memikirkan masa depan, saya tahu konsekwensi jika saya melukainya. Rupanya dia juga berpikiran sama dengan saya, sehingga tidak meneruskan provokasinya, dan kami masuk ke kamar masing masing.
Kejadian itu membuat saya segera teringat pesan Bapak, agar tidak membawa keris yang sudah berdarah itu. Sejak saat itu saya bertekat untuk tidak akan dikendalikan oleh amarah. Karena amarah hanya akan membuat kita bertindak tidak rasional.
Keesok harinya saya membaca salah satu iklan di harian “Kedaulatan Rakyat” yang memberitakan ada pameran supranatural. Salah satu diantara yang buka stan di sana adalah seorang paranormal yang katanya ahli di bidang keris. Karena ingin mengetahui apa pengaruh keris itu kepada saya, segera saya menemui sang paranormal.
Ketika saya memasuki ruangannya, dia sedang khusuk berdoa. Di atas mejanya tergeletak sebuah belati dan tasbih. Entah mengapa intusisiku mengatakan jika dia sedang melakukan “pencitraan” dengan asesori asesori yang ada di sekitarnya. Tetapi karena sudah terlanjur membayar, saya tetap berkonsultasi kepada beliau.
“Keris ini sangat hebat, sehingga jika bisa menyelaraskannya anda bisa memiliki kekuatan yang hebat”, kata beliau. Dan ujungnya tentu ada biaya tambahan. Sebagai seorang mahasiswa yang cekak moneter, tentu opsi biaya tambahan ini yang tidak saya sukai. Kemudian ketika saya tanya lebih jauh mengenai keris ini, beliau mengatakan bahwa keris yang saya bawa itu buatan adiknya Mpu Gandring (dia tidak menyebut namanya), dan khodamnya bernama Syekh Maghribi.
Walaupun saya bukan ahli keris, saya tahu kalau keris itu memiliki tangguh Mataram. Agak aneh jika dibilang buatan jaman kediri. Lagi pula pembuatnya seorang yang beragama hindu, tetapi khodamnya kok muslim. Itu yang saya pikirkan sehingga tidak mempercayai sang paranormal tersebut.
Segera saya balik ke kos, dan keris itu saya letakkan di atas meja. Karena Tempat kos saya relatif sempit, maka meja yang saya pakai untuk belajar mepet dengan tempat tidur. Pada waktu itu posisi keris sedikit keluar dari meja sehingga ujungnya tepat di atas kepala saya ketika saya tidur.
Di malam harinya, tiba tiba ada sesosok bayangan yang menindih tubuh saya. Tubuh saya serasa berat untuk digerakkan. Badanku terasa terkunci dan makhluk bayangan itu terus menindih saya. Ketika kembali tersadar, segera saya pukul makhluk tidak jelas ini dengan tenaga dalam, dan saya sertai dengan tendangan.
Makhluk itu terlempar dan saya tersadar dari mimpi. Hanya itu yang bisa menjelaskan fenomena ini, yaitu mimpi. Tetapi mengapa demikian jelas bisa saya rasakan?
Besuknya saya menghubungi seorang teman dari Tingkir, salah satu kecamatan di kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Beliau mengatakan bahwa khodam yang ada di dalam keris ingin berkomunikasi dengan saya. Kemudian dia meminta saya untuk menayuh (proses untuk ketemu dengan khodam yang ada pada suatu benda) keris saya.
Dengan berbekal ritual yang diajarkannya, di malam hari saya taruh keris itu di bantal saya. Kemudian antara sadar dan mimpi ada suara yang menggema berkata kepada saya,”Ingsun condro seto, ono opo nggoleki insun,” (Saya Condro Seto, untuk apa mencari saya). Dan ketika saya tanya lebih lanjut dia megatakan,” Ingsun Cinipto dening mpu Harumbrojo Ing Ngayogyokarto”. (Saya dibuat oleh mpu Harumbrojo di Yogyakarta).
Dalam tanya jawab ini akhirnya saya ketahui mengapa dia ingin menemui saya. Dia minta agar diberi warangka dari kayu Cendana. Dan dalam hati saya akan memenuhi keinginannya itu suatu saat nanti kalau sudah lulus, bekerja dan punya uang.
Pada suatu hari saya bercerita tentang keinginan Condro Seto untuk diganti warangkanya, kepada ibu. Ketika tahu bahwa warangka yang diinginkannya adalah cendana, beliau kaget. “Cendana itu sanepo, le”, kata beliau. Yang dimaksud dengan warangka cendana itu adalah warangka berbentuk manusia.
Segera saya teringat pesan dari Bapak, agar saya tidak membawa keris yang berdarah itu. Dan ketika saya meninggalkan Yogyakarta dan mencari peruntungan ke ibu kota, Keris peninggalan kakek saya itu saya tinggal di laci meja saya. Entah siapa yang memilikinya sekarang.
Jakarta, 23 - 03 - 2017
begawantung.blogspot.com
Posting Komentar untuk "SEBUAH CERPEN BERJUDUL : CONDRO SETO"