KEBERADAAN ALAM GAIB


KEBERADAAN ALAM GAIB


Berbicara tentang alam gaib tentu tidak terlepas dari pemikiran transendental. Transenden terdiri dari 2 kata yaitu Trans yang berarti melintas, dan Scandare yang berarti memanjat. Secara garis besar, transenden adalah cara berpikir melampaui apa yang dilihat dan apa yang dapat diindedentifikasi oleh sistem indra klita.

Pemikiran yang bersifat transendental itulah yang menghasilkan ilmu metafisika, yaitu cabang dari fisika yang membahas tentang penyebab segala sesuatu menjadi ada. Ilmu ini membahas segala sesuatu yang sifatnya di luar fisika.

Secara metafisika, alam gaib adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum fisika. Artinya untuk memahaminya, harus menggunakan pemikiran transendental. Sebagai umat beragama kita bisa mengetahuinya karena adanya berita yang disampaikan melalui kitab suci agama yang kita anut. Sedangkan sebagai manusia, kita hanya bisa percaya pada apa yang disabdakanNYA.

Banyak hal yang dulunya dianggap gaib, sekarang bisa dideteksi keberadaannya, sehingga tidak bisa dianggap gaib lagi. Sebagai contoh adalah radio aktif, listrik, aura dll.

Saya kenal dengan seorang sinshe yang bisa mendeteksi kondisi kesehatan kita dari jarak jauh. Bahkan beliau tahu adanya radang jantung ibu saya, sebelum diceritakan gejala yang dirasakan, dan memberikan obat yang tepat. Bagi seorang sinshe, itu sesuatu yang mudah, karena dia telah mengembangkan sistem indra yang bisa mendeteksinya. “Pengelihatan” yang dianggap oang lain sebagai gaib, bagi dia bukanlah hal gaib lagi.

Andaikata sebagian besar orang di dunia buta warna total, maka kemampuan anda untuk membedakan benda yang berwarna tentu akan dianggap sebagai kemampuan gaib. Tetapi karena sebagian besar dari kita tidak buta warna, maka kemampuan mengenali warna dianggap wajar wajar saja.

Ada juga hal yang dianggap gaib karena berada dalam demensi yang berbeda dengan demensi yang kita alami di dunia. Sebagai contoh adalah demensi waktu. Secara akal, susah bagi kita untuk memahami waktu sebagai salah satu demensi. Padahal secara teori, kita bisa memasuki demensi waktu lampau, maupun demensi waktu masa depan. Untuk menjelaskannya, Einstein memunculkan teorinya yang sangat kontraversial, yaitu relativitas.

Orang jawa mengenal 7 demensi yang ditinggali oleh makhluk yang berbeda. Selain alam dunia, dikenal alam merkayangan, alam siluman, alam kajinam, alam demit dan alam roh. Dalam islam dikenal ada alam ruh, alam barzah, alam jin dan setan, alam malaikat, dan alam akherat. Menurut saya tentu masih banyak lagi alam alam lain yang masih belum kita kenal. Dan hanya Tuhan Yang Maha Tahu” yang mengetahuinya.

Karena berbeda dalam demensi, tentu kita tidak bisa mengetahuinya, kecuali kita mendapatkannya dari kitab suci. Khusus untuk demensi yang diketahui oleh masyarakat jawa mereka mendapatkan informasinya dari “meraga sukma” (ngrogo sukmo).

Berbicara mengenai kemampuan untuk melihat fenomena gaib, tentu tidak terlepas dari kemampuan indra kita untuk mendeteksinya. Kemampuan melihat aura bisa dilatih,sehingga “cahaya aura yang sangat lembut” bisa dilihat oleh orang yang terlatih.

Selain itu, itu juga bisa menggunakan teknologi untuk menyaksikannya. Dengan fotografi Kirlian, semua orang bisa melihat cahaya aura dari foto yang dihasilkannya.

Dalam ilmu sufistik,  Kemampuan mengenali dan memahami sesuatu tergantung dari latifah seseorang. Latifah bisa dipandang sebagai demensi atau tingkat di mana pemikiran dan pemahaman seseorang tentang “keberadaan”.  Ada latifatul nafsi, latifatul qolbi, latifatul ruh, latifatul sir, latifatul khofi dan latifatul akhfa.

Seorang dengan lafifatul Nafsi tentu tidak bisa memahami apa yang dipahami oleh orang yang berada pada latifatul Qolbi. Orang yang berada di latifah yang lebih tinggi lebih memahami dari yang berada pada latifah yang lebih rendah. Itulah mengapa, ada yang bisa mengetahui dan memahami sesuatu padahal oleh orang yang lain sesuatu itu adalah hal yang gaib.

Oleh sebab itu, pengalaman gaib seseorang tentu berbeda dengan orang yang lain. Jika kita berpegang pada “materialisme” maka kita tidak akan percaya dengan yang disaksikan oleh orang yang bisa menyaksikan. Karena secara teknis memang ada orang yang  bisa menyaksikan, dan ada pula yang belum. Tentu saja hal ini tergantung dengan kemampuan indra dan pemahaman masing masing orang.

Sedangkan kemampuan indra bisa dilatih. Sebagai contoh adalah dengan membuka “mata ke tiga” sehingga kita bisa “menyaksikan” sesuatu yang sebelumnya tidak bisa kita lihat. Sedangkan urusan yang gaib sebenarnya hanya Allah swt yang tahu, dan kita hanya diperkenankan “menyaksikan” sebagian kecilnya saja.

Jadi apakah alam gaib itu “nyata atau tidak” tergantung dari kemampuan “indra” kita untuk mendeteksi dan kemampuan pemahaman. Leluhur kita menggunakan cara berpikir transendental untuk memahaminya.

Leluhur tanah jawa menggunakan “rahsa sejati” untuk memahami “keberadaan”.

Begawan Tung
begawantung.blogspot.com





Posting Komentar untuk "KEBERADAAN ALAM GAIB"