PENGHAKIMAN SOCRTES JILID



Beberapa tahun belakangan ini saya melihat, Sebuah "framing" dibangun untuk melihat seorang pemimpin daerah sebagai pemimpin yang intoleran dan diskriminatif.


Dan Sang Kepala daerah tidak "membalas" narasi dengan narasi. Beliau membalasnya dengan kinerja.

Sampai kemudian, pada tahun ke 2 dan 3 kepemimpinannya, setelah cukup jelas apa yang dikerjakan, lengkap dengan puluhan penghargaan dari dalam dan luar negeri, beliau baru bertanya:

  1. Tolong ditunjukkan mana kebijakan yang dibuatnya yang bisa digolongkan sebahgai intoleran.
  2. Tolong ditunjukkan, mana kebijakan yang dibuatnya, yang bisa disebut sebagai diskriminatif.

Apabila kedua pertanyaan tersebut di atas tidak dijawan dengan fakta yang nyata, maka narasi yang dibangun selama ini hanyalah imajinasi belaka.

Masalahnya, menurut penelitian, seringkali PIKIRAN TIDAK MAMPU MEMBEDAKAN ANTARA KENYATAAN DAN IMAJINASI.

Apalagi Imajinasi itu dibangun melalui narasi yang disebarkan secara masif lewat berbagai media. Dan itu artnya terjadi "pengulangan" secara terus menerus hingga menembus bawah sadar manusia membentuk "believe" atau keyakinan baru.

Sekali lagi, saya mengutip berbagai penelitian, bahwa dengan pengulangan, sebuah ide yang mula nula tidak populair, jika disampaikan berulang ulang secara masif, maka akan menjadi "keyakinan" baru.

Akhirnya, sebagian masyarakat menjadi "yakin" bahwa Tokoh kepala daerah trsebut benar benar intolerant, dam siskriminatif.

Kecuali kubu "seberang" dan orang orang yag menggunaka logika.

MELAWAN KEJAHATAN NARASI DENGAN LOGIKA

Satu satunya cara untuk tetap berpikir jernih adalah dengan mempertahankan LOGIKA.

Kejadian yang menimpa Sang Kepala Daerah pernah terjadi di jaman Kejayaan Yunani Kuno. Kebenaran yang beliau sampaikan dianggap "Sesat" sehingga Socrates dihukum mati dengan cara meminum racun.

Logika yang dibangun oleh Socrates dikalahkan oleh "Retorika" asal asalan, tetapi didukung oleh banyak pihak, karena adanya konspirasi. Dan pengadilan menyatakan beliau bersalah hanya karena "pendapatnya" kalah dalam jumlah pendukung.

Mendapat kenyataan itu, Aristoteles, salah satumuridnya. menyusun ilmu yang sekarang dikenal sebagai ilmu logika. Dengan ilmu logika, sebuah "kebenaran" bisa dengan mudah dikenali, dan kesalahan berpikir juga bisa dikenali.

Sehingga, perdebatan tidak lagi "menang menangan otot leher", tetapi ada formula untuk mengenali mana yang logis dan mana yang tidak logis.

Sayangnya, pelajaran logika tidak diajarkan di sekolah dengan porsi yang layak. Seingat saya hanya diajarkan waktu SMA itu pun hanya 1 semester, itu pun sebagai bagian dari ilmu aritmatik, sub ilmu dari matematika.

Begawan Tung
begawantung.blogspot.com


Posting Komentar untuk " PENGHAKIMAN SOCRTES JILID "