Halaman

    Social Items

BELENGGU PENGETAHUAN


Ketika kita melihat suatu fakta atau realitas, sebenarnya itu adalah realitas yang ada di dalam diri anda, atau realitas internal (RI). Realitas ini dipengaruhi oleh cara anda memandang dunia sehingga realitas yang anda pahami bisa berbeda dengan realitas yang dipahami oleh orang lain. Sedangkan fakta yang benar benar terjadi di luar sana, disebut dengan realitas eksternal (RI).

Ada preposisi yang dipakai dalam ilmu Neuro Linguistic Programming, yaitu bahwa peta itu bukan wilayah (Map is not territory).  Peta memang menggambarkan suatu wlilayah, tetapi peta tidak mewakili wilayah itu sendiri. Karena tidak semua aspek yang ada pada wilayah bisa secara benar digambarkan oleh peta. Hal ini karena keterbatasan data, kesalahan akibat generalisasi, kesalahan manusia dalam input data, atau perubahan wilayah yang terjadi dll.

Ketika pertama kali datang ke jakarta pada tahun 2000, saya membeli sebuah peta. Dan ketika saya perhatikan sekarang, banyak gedung yang tidak terpetakan, atau ada beberapa yang berganti nama. Ada beberapa ruas jalan lingkar yang belum terpetakan karena pada waktu itu belum dibangun. Itulah sebabnya disarankan anda untuk menggunakan peta terbaru jika akan memahami suatu wilayah.

Ibarat peta yang bukan wilayah, realitas internal tidaklah bisa menggambarkan fakta atau kebenaran secara utuh. Seperti peta yang memiliki kelemahan, pikiran kita juga memiliki kelemahan yang mirip dengan kelemahan pada peta.

Ketika seorang guru menjelaskan sesuatu pada muridnya, tidak semua murid memahaminya. Dan tidak semua murid memiliki pemahaman yang sama terhadap apa yang diajarkan oleh gurunya. Penyebabnya  adalah delesi, distorsi dan generalisasi dalam memahami suatu makna.

Apa itu delesi? Secara bahasa, delesi adalah penghapusan. Ketika menerima pelajaran, ada beberapa hal yang tidak bisa ditangkap oleh pikirannya karena kurang fokus atau gangguam lainnya. Hal ini mengakibatkan peta mental dari murid kurang lengkap untuk memahami sesuatu.

Dalam kasus kita sehari hari, contoh dari delesi adalah ketika kita tidak menyukai seorang tokoh, maka berita apapun yag baik tentang dirinya segera kita abaikan. Demikian pula ketika kita mendukung salah satu tokoh. Apapun berita mengenai kejahatannya, anda cenderung tidak mempercayainya dan menganggapnya sebagai berita bohong.

Apa itu distorsi ? Distorsi di sini berarti pergeseran makna, penyimpangan atau kesalahan dalam menasirkan suatu makna. Tentu saja kesalahan dalam memahami makna yang disampaikan oleh seorang guru akan mempengaruhi pemahaman murid dalam memahami pelajaran.

Dalam kehidupan sehari hari, ini sering digunakan oleh media untuk “menafsirkan” perkataan tokoh yang tidak disukainya dengan makna yang lain. Akibat distorsi pemaknaan yang sengaja dilakukan ini, apa yang dimaksud oleh pembicara dipelintir menjadi makna yang jahat atau melawan kehendak masa. Pembunuhan karakter terhadap seorang tokoh biasanya dilakukan daengan cara ini.

Apa itu generalisasi? Dalam hal ini generalisasi adalah mengambil kesimpulan hanya dengan satu kejadian. Ketika ada perusakan terhadap rumah ibadah oleh seseorang yang beragama lain, segera ditafsirkan sebagai permusuhan  antar agama. Perilaku yang dilakukan oleh seorang oknum, ditafsirkan dilakuka oleh “agama” yang dianut oleh oknum yang bersangkutan.

Generalisasi ini sering dipakai oleh kelompok tertentu untuk mengadu domba kita. Perusakan terhadap tempat tempat ibadah pada awal reformasi menunjukkan bagaimana cara berpikir ini dimanfaatkan untuk mengadu domba diantara kita. Salut terhadap Ormas Banser yang melakukan penjagaan terhadap rumah ibadah agama lain walaupun mereka harus rela menuai kecaman. 

Penjagaan yang mereka lakukan dimaksudkan agar adu domba tidak efektif untuk diterapkan.

Delusi, distorsi dan generalisasi di atas merupakan penghalang bagi kita untuk memahami suatu makna. Itulah sebabnya, semakin semakin luas ilmu seseorang, dia menjdi semakin toleran terhadap pemahaman orang lain.

Makna hanyalah sebatas persepsi akibat keterbatasan peta mental yang kita miliki. Semakin luas dan akurat peta mental seseorang, semakin paham seeorang dengan realitas yang sebenarnya.

Maka kita harus selalu memperluas peta mental kita. Caranya adalah dengan membuka lebar semua informasi. Seringkali kita memilih dan memilah mana informasi yang kita anggap benar dan kita anggap salah, tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Tanpa memeriksa dengan pikiran jernih kita terlebih dahulu. Hanya karena “pengetahuan” yang sudah ada di dalam diri kita tidak sama dengan informasi itu.

Jika informasi yang ada bertentangan dengan “pengetahuan” , kita cenderung menolaknya. Padahal jika kita bersedia menelaahnya dengan penuh kejernihan hati, mungkin saja informasi baru itu benar adanya. Tetapi dengan menolaknya, justru kita kehilangan kebenaran baru, yang bisa memperluas pemahaman kita.

Penolakan terhadap informasi baru yang berbeda dengan “pengetahuan” yang sudah ada di dalam diri kita ini dikenal sebagai “belenggu Pengetahuan”. Artinya pengetahuan bisa saja menghalangi kesempatan anda untuk mendapatkan pengetahuan baru. Itulah mengapa, kita harus melepaskan diri dari Belenggu Pengetahuan.

Mengapa gajah yang terlatih tidak bisa melepaskan dirinya dari belenggu tali yang hanya diikatkan pada sebuah pasak yang tertancap di tanah? Padahal dengan kekuatannya, itu adalah sesuatu yang mudah baginya.

Karena dia dilatih untuk percaya bahwa belenggu itu mengikatnya.  Gajah tidak bisa melepaskan diri dari ikatannya itu karena belenggu pengetahuannya sendiri.




BELENGGU PENGETAHUAN

BELENGGU PENGETAHUAN


Ketika kita melihat suatu fakta atau realitas, sebenarnya itu adalah realitas yang ada di dalam diri anda, atau realitas internal (RI). Realitas ini dipengaruhi oleh cara anda memandang dunia sehingga realitas yang anda pahami bisa berbeda dengan realitas yang dipahami oleh orang lain. Sedangkan fakta yang benar benar terjadi di luar sana, disebut dengan realitas eksternal (RI).

Ada preposisi yang dipakai dalam ilmu Neuro Linguistic Programming, yaitu bahwa peta itu bukan wilayah (Map is not territory).  Peta memang menggambarkan suatu wlilayah, tetapi peta tidak mewakili wilayah itu sendiri. Karena tidak semua aspek yang ada pada wilayah bisa secara benar digambarkan oleh peta. Hal ini karena keterbatasan data, kesalahan akibat generalisasi, kesalahan manusia dalam input data, atau perubahan wilayah yang terjadi dll.

Ketika pertama kali datang ke jakarta pada tahun 2000, saya membeli sebuah peta. Dan ketika saya perhatikan sekarang, banyak gedung yang tidak terpetakan, atau ada beberapa yang berganti nama. Ada beberapa ruas jalan lingkar yang belum terpetakan karena pada waktu itu belum dibangun. Itulah sebabnya disarankan anda untuk menggunakan peta terbaru jika akan memahami suatu wilayah.

Ibarat peta yang bukan wilayah, realitas internal tidaklah bisa menggambarkan fakta atau kebenaran secara utuh. Seperti peta yang memiliki kelemahan, pikiran kita juga memiliki kelemahan yang mirip dengan kelemahan pada peta.

Ketika seorang guru menjelaskan sesuatu pada muridnya, tidak semua murid memahaminya. Dan tidak semua murid memiliki pemahaman yang sama terhadap apa yang diajarkan oleh gurunya. Penyebabnya  adalah delesi, distorsi dan generalisasi dalam memahami suatu makna.

Apa itu delesi? Secara bahasa, delesi adalah penghapusan. Ketika menerima pelajaran, ada beberapa hal yang tidak bisa ditangkap oleh pikirannya karena kurang fokus atau gangguam lainnya. Hal ini mengakibatkan peta mental dari murid kurang lengkap untuk memahami sesuatu.

Dalam kasus kita sehari hari, contoh dari delesi adalah ketika kita tidak menyukai seorang tokoh, maka berita apapun yag baik tentang dirinya segera kita abaikan. Demikian pula ketika kita mendukung salah satu tokoh. Apapun berita mengenai kejahatannya, anda cenderung tidak mempercayainya dan menganggapnya sebagai berita bohong.

Apa itu distorsi ? Distorsi di sini berarti pergeseran makna, penyimpangan atau kesalahan dalam menasirkan suatu makna. Tentu saja kesalahan dalam memahami makna yang disampaikan oleh seorang guru akan mempengaruhi pemahaman murid dalam memahami pelajaran.

Dalam kehidupan sehari hari, ini sering digunakan oleh media untuk “menafsirkan” perkataan tokoh yang tidak disukainya dengan makna yang lain. Akibat distorsi pemaknaan yang sengaja dilakukan ini, apa yang dimaksud oleh pembicara dipelintir menjadi makna yang jahat atau melawan kehendak masa. Pembunuhan karakter terhadap seorang tokoh biasanya dilakukan daengan cara ini.

Apa itu generalisasi? Dalam hal ini generalisasi adalah mengambil kesimpulan hanya dengan satu kejadian. Ketika ada perusakan terhadap rumah ibadah oleh seseorang yang beragama lain, segera ditafsirkan sebagai permusuhan  antar agama. Perilaku yang dilakukan oleh seorang oknum, ditafsirkan dilakuka oleh “agama” yang dianut oleh oknum yang bersangkutan.

Generalisasi ini sering dipakai oleh kelompok tertentu untuk mengadu domba kita. Perusakan terhadap tempat tempat ibadah pada awal reformasi menunjukkan bagaimana cara berpikir ini dimanfaatkan untuk mengadu domba diantara kita. Salut terhadap Ormas Banser yang melakukan penjagaan terhadap rumah ibadah agama lain walaupun mereka harus rela menuai kecaman. 

Penjagaan yang mereka lakukan dimaksudkan agar adu domba tidak efektif untuk diterapkan.

Delusi, distorsi dan generalisasi di atas merupakan penghalang bagi kita untuk memahami suatu makna. Itulah sebabnya, semakin semakin luas ilmu seseorang, dia menjdi semakin toleran terhadap pemahaman orang lain.

Makna hanyalah sebatas persepsi akibat keterbatasan peta mental yang kita miliki. Semakin luas dan akurat peta mental seseorang, semakin paham seeorang dengan realitas yang sebenarnya.

Maka kita harus selalu memperluas peta mental kita. Caranya adalah dengan membuka lebar semua informasi. Seringkali kita memilih dan memilah mana informasi yang kita anggap benar dan kita anggap salah, tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Tanpa memeriksa dengan pikiran jernih kita terlebih dahulu. Hanya karena “pengetahuan” yang sudah ada di dalam diri kita tidak sama dengan informasi itu.

Jika informasi yang ada bertentangan dengan “pengetahuan” , kita cenderung menolaknya. Padahal jika kita bersedia menelaahnya dengan penuh kejernihan hati, mungkin saja informasi baru itu benar adanya. Tetapi dengan menolaknya, justru kita kehilangan kebenaran baru, yang bisa memperluas pemahaman kita.

Penolakan terhadap informasi baru yang berbeda dengan “pengetahuan” yang sudah ada di dalam diri kita ini dikenal sebagai “belenggu Pengetahuan”. Artinya pengetahuan bisa saja menghalangi kesempatan anda untuk mendapatkan pengetahuan baru. Itulah mengapa, kita harus melepaskan diri dari Belenggu Pengetahuan.

Mengapa gajah yang terlatih tidak bisa melepaskan dirinya dari belenggu tali yang hanya diikatkan pada sebuah pasak yang tertancap di tanah? Padahal dengan kekuatannya, itu adalah sesuatu yang mudah baginya.

Karena dia dilatih untuk percaya bahwa belenggu itu mengikatnya.  Gajah tidak bisa melepaskan diri dari ikatannya itu karena belenggu pengetahuannya sendiri.




Tidak ada komentar